Hasil penelusuran memang tidak diketemukan
secara lengkap mengenai asal-muasal kapan orang Sunda mulai memakai Totopong
yang kini lebih popular disebut iket sebagai penutup kepala denga berbagai
modelnya,tetapi banyak sekali yang meyakini bahwa iket kepala yang dipergunakan
masyarakat Sunda tempo doeloe bukan hanya sekedar pelengkap busana atau sekedar
penahan panas,tetapi memiliki simbol-simbol tertentu dan sebagai tanda status
sosial pemakainya atau ciri khas dari setiap daerah asalnya,misalnya:
iketan yang biasa digunakan oleh " lengser " sangat berbeda dengan iket yang digunakan pesilat dengan "Barangbang Semplaknya," juga seperti iket masyarakat Baduy tentu berbeda dengan masyarakat Kampung Naga Tasik Malaya.
iketan yang biasa digunakan oleh " lengser " sangat berbeda dengan iket yang digunakan pesilat dengan "Barangbang Semplaknya," juga seperti iket masyarakat Baduy tentu berbeda dengan masyarakat Kampung Naga Tasik Malaya.
Orang Sunda dengan selembar kainnya dan melaui keterampilan tangannya menjadikan ikatan kain berukuran rata-rata 90x90cm sebagai penutup kepala begitu beragamnya lalu menamai setiap model dan filosofinya,menunjukan bahwa betapa luhurnya pemikiran serta dalamnya penghayatan keilmuan para leluhur dengan membedakan gaya-gaya iketnya,seperti: " Barangbang Semplak,Buaya Nyangsar,Julang Ngapak,Parekos Jengkol,Parekos Nangka,Babarengkos,Paro'os Gedang,Maung Heuay,Kuda Ngencar dan sebagainya."
Salah satu Pandita di Bali yang pernah saya temui,menjelaskan udeng atau iket yang dipergunakan pada saat beribadah melambangkan bahwa kemampuan logika harus dibatasi ketika mengahadap Dewata,hal itu sesuai dengan " Parekos Jengkol " dengan bentuk kainnya yang menutup ubun-ubun mengandung filosofi bahwa tidak semua pemikiran manusia ada jawabannya karena yang mempunyai semua jawaban adalah Sang Prncipta.
" Sajarah Sukapura " yang berbentuk dangding,yang dikutip Raden Sastranegara dalam " Pangeling-ngeling 300 taun ngadegna Kabupaten Sukapura/Tasikmalaya,1933,menjelaskan bagaimana orang Sunda berpakaian,diantaranya,
" baheula
mah jaman sepuh,para istri menak-menak,baju jubah ninggang bitis,dikekemben
ngalempay panjang ka tukang ari istri piluaran,lamun marek ka Buapti,makena
karembong dua,dipake apok sahiji,nu hiji nyalindang nyampir dina tak-tak
kagusur...Udeng wedal Sukapura,batik hideung sawung galing...totopong
balangkreng sisi,sabuk saten nyoren gobang,totopong dipasang tegil,baju kamsol
make kancing,emas hurung tinggalebur."
Dengan terjemahan bahasa Indonesia:" Dahulu
jaman orang tua kita,istri bangsawan mengenakan baju jubah sampai betis,memakai
selendang panjangterjurai kebelakang. Kalau istri rakyat biasa,bila menghadap
Bupati,mengenakan dua buah selendang,yang satu dipakai penutup dada,yang satu
lagi disampirkan diatas pundak terseret-seret,udeng (tutup kepala)keluaran
Sukapura,batik hitam Sawunggaling...memakai ikat kepala " Balangkreng
Sisi ". Ikat pinggang kain saten dan menyandang golok. Ikat
kepala dipasang model tegil,baju kamsol memakai kancing warna mas menyala
gemerlapan". Cuplikan dan tesis Gandjar Sakri:Kerajinan Tangan Tasik
Malaya",Seni Rupa ITB,Bandung 1974.
Sekarang banyak ditemui anak-anak muda memakai
iket kepala,terlepas mengerti atau tidaknya model iket yang dipergunakan,paling
tidak sudah mencirikan indetitas budaya dan melalui iketlah bangkitnya
kesadaran diri. Oleh:Agung Ismail Mirza
(Sumber:Majalah
Sundawani Februari 2011)
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.