Biografi Utuy Tatang Sontani

               
BIOGRAFI UTUY TATANG SONTANI


 utuy tatang sontaniPada saat-saat pertama Jepang menginjakan kaki di bumi Indonesia,pengarang kelahiran Cianjur (Jawa-Barat) 1920 ini,telah mulai menulis beberapa buah buku dalam bahasa Sunda, antaranya sebuah roman yang berjudul "Tambera"(1943). Mengikuti anjuran Kantor Pusat kebudayaan iapun menulis dalam bahasa Indonesia. Mula-mula ia menulis sajak . 

Pada permulaan kemerdekaan ia menulis drama. Meski ia kemudian menulis roman dan cerpen juga, namun ia lebih terkenal sebagai pengarang drama.

Dramanya yang pertama berupa drama sajak berjudul " Suling " (1948) yang merupakan simbolik perjuangan kemerdekaan Indonesia. Drama yang kedua " Bunga Rumahmakan " (1948) melukiskan kehidupan nyata,tentang seorang gadis pelayan rumah makanmakan yang secara tak sadar dipergunakan oleh majikannya untuk menarik langganan,kemudian memilih pemuda yang dicintainya,meskipun pakaiannya kumal dan tak punya kerja. " Awal dan Mira " (1952) yang mendapat hadiah sastra nasional B.M.K.N. tahun 1952 untuk drama,melukiskan kekecewaan sementara orang terhadap hasil perjuangan kemerdekaan,dimana impian indah terbentur pada kenyataan pahit. keistimewaan " Awal dan Mira " ini ialah cara penulisannya yang berbentuk novela,sehingga mudah dan enak dibaca(dan jadi sukar untuk dipentaskan.) Cara ini terus dipergunakan Utuy dalam menulis drama-dramanya yang kemudian.
  
Dramanya-dramanya yang ditulis sesudah itu melukiskan kegetiran yang lebih pesimis lagi. " Manusia iseng "," Sayang ada orang lain ","Di Langit ada bintang " dan " Saat yang Genting " melukiskan kemelut manusia kota dalam kehidupan yang hancur sendi-sendinya dan kehilangan norma moral serta agama. Dalam drama-drama itu nampak sekali bahwa menurut utuy tindakan-tindakan manusia itu sangat kuat dipengaruhi oleh nafsu-nafsu libidonya. hal ini sesuai dengan teori Sigmund Freud dan karena itulah ada sementara kritisi yang menyebut utuy sebagai Freudian  (= pengikut freud). keempat drama itu kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul " Manusia Kota (1962).  

Dua buah dramanya yang berjudul "Selamat jalan anak kufur" dan " Saat yang Genting " juga melukiskan kehidupan manusia kota yang kehilangan norma-norma moral karena pengaruh nafsu libido. kedua drama itu kemudian dibukukan menjadi satu dengan judul " Selamat jalan Anak Kufur !" (1963). " Selamat Jalan Anak Kufur !" ini adalah sebuah drama yang melukiskan kehidupan di sebuah tempat pelacuran, dimana seorang wanita tunasusila disebut kufur oleh si-ibu yang menjadi germonya karena masih mempunyai rasa cinta dan mau mengikuti tukang beca yang dicintainya. Sebagai drama, " Selamat jalan Anak kufur !" ini merupakan drama Utuy yang terkuat dan terbaik.

Dalam drama-dramanya itu,utuy sangat mengedepankan individu dan menidakakan norma-norma masyarakat,agama,moral yang ada,Dramanya " Sayang Ada orang Lain " misalnya,merupakan tragedi yang terjadi karena adanya campur tangan orang lain ke dalam kehidupan rumahtangga seseorang.

Puncak individualisme dalam drama-dramanya Utuy terdapat dalam " Sang Kuriang " (1959). Drama ini dikerjakan Utuy menjadi sebuah libretto (=naskah untuk opera)berdasarkan sebuah mitologi Sunda tentang " Sang Kuriang " yang menciatai bundanya Dayang Sumbi karena tak dikenalnya lagi itu,dalam drama Utuy mendapat sorotan baru yang individualistis. Sang Kuriang melamar Dayang Sumbi bukanlah karena ia kesamaran atau tak mengenal lagi bundanya, melainkan dengan penuh kesadaran hendak mempersunting Dayang Sumbi untuk menjadi istrinya.

Drama lain yang juga mempergunakan nama tokoh dongeng rakyat Sunda ialah "Si Kabayan" (1959) yang merupakan sebuah komedi. Tapi Si Kabayan dalam komedi ini hidup dalam jaman sekarang, menjadi dukun yang banyak menipu manusia-manusia yang kehilangan lalu menaruhkan harapan dan kepercayaan kepada hal-hal yang irrsionil.

Sesudah itu utuy membuat belokan yang tajam : Awal tahun 1960'an ia masuk Lekra dan menulis dua buah drama agitasi berjudul " Si Sapar " (1964)dan " SI Kampeng " (1964). Yang pertama tentang " setan kota " dan yang kedua " tujuh setan desa " : dua buah slogan yang banyak sekali dipergunakan P.K.I. menjelang Gestapu.

Roman " Tambera " yang semula ditulis dalam bahasa Sunda itu,kemudian dikerjakan Utuy kembali dalam bahasa Indonesia dengan diperluas dan diperbaiki (1949). Sampai sekarang roman ini dianggap sebagai salah satu roman terpenting hasil Angkatan '45. Di samping itu masih ada pula sebuah kumpulan cerpen Utuy,berjudul " Orang-orang Sial " (1951) yang suasananya lebih dekat dengan " Awal dan Mira ".
 ketika terjadi Gestapu,Utuy konon sedang berada di luar negeri dan buku-bukunya dinyatakan terlarang.  

Sumber: Ichtisar Sejarah Sastra Indonesia.
Oleh:Ajip Rosidi.  

  
DIJUAL BUKU-BUKU KUNO / LAMA ... !!!


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.