Sejarah Kota Bandung



Bandung Tempo Dulu

" Aen een negrije genaemt Bandong
                 bestaende uitjt 25 a 30 huysen"

                              (Juliaen de Silva 1641)

"Ada sebuah negeri yang bernama Bandong yang terdiri atas 25 sampai 30 rumah",demikian tulis seorang Mardjijker (mata-mata Belanda) bernama Juliaen de Silva pada tahun 1641,dengan menggunakan bahasa Belanda kuno.

Menurut frof.Dr. E.C. Godee Molsbergen (1935), Landsarchivaris (arsip negara) di Batavia:dari data yang pernah ditemukan,Juliaen de Silva mungkin orang asing pertama yang datang ke Tatar Bandung. Yang di kala itu, lebih dikenal oleh pemerintah Belanda dengan sebutan " Negorij Bandong" atau " West Oejoeng Broeng".
  
Di kalangan penduduk pribumi sendiri, wilayah Bandung pada abad ke-17 sering di sebut "Tatar Ukur". Salah seorang pemimpinnya pada saat itu bernama Wangsanata alias Dipati Ukur.
  
pada tahun 1628, bersama Tumenggung Bahureksa,Dipati Ukur diserahi tugas oleh Sultan Agung Mataram, untuk menggempur benteng Kompeni Belanda di Batavia.
karena peristiwa itulah, penguasa Kompeni Belanda Di Batavia yang semula kurang begitu memperhatikan Tatar Ukur, mulai menaruh curiga, jangan-jangan daerah yang masih terbilang "terra incognita"(daerah tak bertuan) itu bisa jadi sarang pemberontak, yang sewaktu-waktu bisa mengganggu kedudukannya di Batavia.
  
Demi "kewaspadaan nasional", kehadiran Juliaen de Silva ke Tatar Ukur, patut dicurigai sebagai mata-mata Kompeni Belanda. Memang cukup beralasan untuk mencurigai orang-orang Mardijker seperti Juliaen de Silva , karena mereka terkenal dengan sebutan "anjing setia" Kompeni.
  
Lewat penuturan Dr.Soekanto 1954,bahwa Mardijker yang ada di Batavia berasal dari India. mereka sering disebut "christen-swarten" atau kristen hitam. Sejak pengepungan kota Batavia pada tahun 1619, mereka berdiri di pihak Kompeni.Pada tahun 1626 si hitam (swarten) bersama orang-orang  Belanda tercatat sebagai "schuttersrol" semacam hansip.Tatkala Batavia dikepung pasukan Mataram pada 1628, para Mardijkers ikut membantu Belanda.Caldero lah seorang mardijker yang ditunjuk Belanda menjadi "opperhoft van de swarten"di Batavia pada tahun 1629.

Seorang Mardijker adalah 100 persen  asli darah asia. Anak-anak Mardijkers bila dibaptis (gedopt), sering sekali menerima nama bapak baptisnya, yang umumnya adalah tuan  mereka sendiri, yaitu orang Portugis. Oleh sebab itu kebanyakan nama orang Mardijkers berbau "Portugis".
  
Istilah Mardijkers ternyata tidak ada sangkut-pautnya dengan bahasa Belanda "dijk' yang berarti "tanggul" atau pematang sawah. Akan tetapi justru ada hubungannya dengan bahasa Sansekerta yaitu Mahardika, yang disingkat menjadi "mardika" atau "merdeka". Jadi, Mardijkers adalah orang-orang yang bebas merdeka (vrijgelatene) bukan budak belian lagi.

Semenjak kedatangan "mata-mata" de Silva di tahun 1641 , secara berkala "kasteel van Batavia" (Benteng Kompeni) mengirim mata-matanya ke daerah Tatar Ukur untuk memata- matai kalau-kalau ada pemberontakan terhadap Kompeni. Yang kala itu kekuatan kompeni Belanda masih lemah.

Lewat catatan-catatan van Riebeek,barulah Kompeni Belanda menyadari akan potensi Wilayah Tatar Ukur.
Namun baru 30 tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1741, Kompeni Belanda menempatkan soldadunya di Tatar Bandung(Tatar Ukur).

Hanya  seorang ada soldadu yang ada pada saat itu, Arie Top namanya,pangkatnya pun tidak tingi hanya "Kopral" tapi jabatannya cukup tinggi,yaitu:"In de functies van plaatselijk militair commandant "(Dalam pungsi komamandan militer yang menetap disuatu daerah).

Kalau sekarang tugas Kopral Arie Top ini kira-kira sama dengan Bintara pembina Desa(Babinsa). Namun wilayah kekuasaannya, hampir meliputi daerah Scogar Bandung-Cimahi.
Kopral Arie tercatat sebagai orang kulit putih pertama yang menjadi warga Tatar Bandung(Bandoengers).
setahun kemudian(1742) warga Eropa yang tinggal di Bandung meningkat 300 persen. Yaitu dengan kedatangan 3 orang Belanda lainnya. mereka adalah kakak-beradik Ronde dan Jan Geysbergen. Sedangkan yang satunya lagi adalah seorang Kopral Kompeni,tidak jelas namanya, yang jelas buangan dari Batavia.

Bagaimana sampai mereka dibuang ke Bandung?
Ya,tentu saja ! karena Tatar Bandung di pertengahan abad ke-18 itu masih berupa hutan rimba,alas gung liwang-liwung ,"top badak top maung"kata orang Sunda,"jalmo moro jalmo mati",yang namanya Situ Hiyang atau "Danau Bandung", airnya masih menggenangai beberapa tempat di Bandung yang merupakan danau-danau kecil. Sedang lahan selebihnya masih berpaya-paya.Bersambung kesini...

sumber:wajah Bandoeng Tempo Doeloe.Haryoto Kunto



 
DIJUAL BUKU-BUKU KUNO / LAMA ... !!!


No comments:

Post a Comment

Note: only a member of this blog may post a comment.