Genre ini berkembang sejak abad ke-16, ketika para pedagang dan avonturir Portugis mulai memberikan pengaruhnya pada kelompok-kelompok mardijkers. Mereka ada yang berdarah Afrika-India (seperti yang kemudian menetap di desa Tugu, dekat Jakarta) dan ada pula yang "asli". " Keroncong" barulah mendapatkan bentuknya yang dikenal dalam suasana kebudayaan "mestizo" atau "Indisch", yang memperlihatkan bentuknya yang dikenal jelas di kota-kota pantai, khususnya Batavia, di akhir abad-19. Tetapi barulah di awal abad ke-20 "keroncong" menyebar dengan cepat-antara lain dengan segala macam concours yang diadakan di pasar-pasar malam-malam dan makin dirasakan sebagai "warisan budaya". Sejak itu pula pusat-pusat "dunia" keroncong berkembang di daerah kebudayaan Jawa.
Berbagai corak keroncong kemudian juga berkembang, mulai dari "stambul" sampai dengan "langgan Jawa". Namun keroncong Tugu, dengan helaan nafas "indung-indung di sayang" dan "keluhan nona manis" tidak kehilangan pesonanya.
Peralatan keroncong terdiri atas gitar gitar (dengan lima senar), yang bentuknya mirip ukulele dari Polonesia, sampai dengan perkusi. irama melodi biola dan suling sangat dekat dengan 4/4 musik barat. Mandolin dan gitar secara bergantian menjadi instrumen pokok.
MUSIK BAZAAR
Yang dinamakan musik Bazaar ialah musik yang berkembang sebagai akibat langsung dari proses akulturasi yang terjadi di pusat-pusat perdagangan, terutama didaerah pesisir. Berbeda dengan musik Melayu Deli, yang dipelihara bangsawan, ataupun musik tradisi Islam, yang dibina oleh pesantern-pesantren maka musik bazaar bermula dikalangan mardijkers (orang orang I ndia yang diberi nama baptis oleh orang-orang Portugis) atau bahkan, para slaven(budak VOC).
Dengan kata lain, musik ini sendiri sebagai akibat gerak maju kolonialisme-awal Belanda dan pertentangan kekuatan-kekuatan politik di Nusantara.
Sumber:Kapita Selekta manifestasi Budaya Indonesia.
Oleh TIM Lembaga Research Kebudayaan Nasional.1986.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.