TANAM PAKSA KOPI DI PRIANGAN TEMPO DOELOE |
"Seruling berkawan pantun
tangiskan derita orang Priangan
selendang merah,merah darah
menurun di Cikapundung "
(oleh:Ramadhan K.H. Priangan Sidjelita)
SEJARAH Indonesia telah mengungkapkan,bahwa Daerah Priangan tempo doloe pernah menjadi andalan pemerintah Kolonial Belanda,guna menutupi kebangkrutan finansial akibat "Perang Jawa" (de Java Oorlog). Perang Belanda melawan Pangeran Diponogoro,yang terjadi dari tahun 1825-1839(Dr.H.J. De Graff," Gaeschiedenis van Indonesie".1949).
Persoalan Kolonial Belanda adalah bagaimana upaya mencari uang sebanyak-banyaknya dalam waktu sesingkat-singkatnya,guna mengisi kas negara yang kosong melompong.
Menurut De Graff,Perang Jawa telah menyedot kas Pemerintah Hindia-Belanda sebesar 20.000.000 gulden.
Untuk menutupi kebobolan itu,Belanda melirik kepada cara-cara yang telah dilakukan oleh pemerintah Inggris di bawah Raffles yang terbukti sukses dalam mencari uang.
usaha itu meliputi dua hal :
1. Mendirikan perkebunan pemerintah di wilayah Priangan. untuk bertanam kopi,sebagai mana telah dilaksanakan sejak awal abad ke-18.
2. Menerapkan sistem " pajak tanah "(Landerentestelsel) yang telah dilakukan Inggris selama penjajahannya diPulau Jawa.
Namun ternyata, Pemerintah Kerajaan Belanda lebih tertarik (Raja Willem I) pada rencana yang diusulkan oleh Van de Bosch dengan konsep " Tanam Paksa " (Cultuurtelsel) yang sangat terkenal itu.
Tanam paksa terdiri dari 5 pokok aturan yang sepintas lalu aturannya nampak tidak begitu berat. Lebih ringan ketimbang " Pajak paksa " dari Raffles.
Namun bagaimana dalam prakteknya ? semua peraturan yang bagus itu dilanggar oleh para petugas Pemerintah. Baik petugas Belanda maupun petugas kita sendiri.
Mengapa hal ini bisa sampai terjadi ?
Tidak lain karena pemerintah Belanda ingin secepatnya mendapatkan uang sebayak-banyaknya guna mengisi kas negara yang kosong. Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah menjajikan premi atau imbalan bagi pejabat yang daerahnya dapat memberi hasil banyak.
Dari beberapa tanaman yang diwajibkan seperti: tembakau,gula,nila,kayu manis, kopi dan teh,maka Wilayah Priangan paling banyak menghasilkan dua jenis yang terakhir " kopi dan teh".
Begitu berpaut erat,usaha membudi-dayakan tanaman kopi dengan kehidupan rakyat Priangan,sehingga sering kita mendengar ungkapan dalam bahasa Sunda --- "ngopi". Yang merangkum pengertian luas dari segala macam bentuk "acara makan kecil" (snack). meski pada kesempatan itu "Air kopi" tidak dihidangkan. namun orang tetap menyebutnya-ngopi.
Sebuah lagu Rakyat Priangan yang telah turun-temurun dari abad-abad yang lalu,melukiskan tanaman kopi yang bertangkai-tangakai.
" Dengkleung dengdek,buah kopi raranggeuyan
keun anu dewek ulah pati diheureuyan".
artinya:
Dengkeung dengdek(bunyi tetabuhan),buah kopi
bertangkai-tangkai
biarkan ! itu milikku jangan sering diganggu.
Memang tanaman kopi pernah "mewarnai" kehidupan pribumi tanah Priangan pada masa lalu:
Menurut catatan,hasil tanam paksa (cultuurstelsel) selama 40 tahun(1631-1870, Pemerintah Belanda telah menarik keuntungan sebanyak 823 juta gulden. Sedangkan De Louter mencatat,keuntungan yang didapat Belanda Cultuurstelsel selama tahun 1840-1879 adalah 781 juta gulden setahun 7/9 bagian berasal dari hasil tanam kopi. Lagi-lagi kopi.
No comments:
Post a Comment
Note: only a member of this blog may post a comment.